Sunday, May 26, 2019

Survive

Bertahan hidup tidaklah mudah. Apalagi hidup di tanah perantauan, biaya hidup yang lebih mahal, tidak memiliki siapa-siapa. Seperti di tengah samudra yang tak memberi benda apapun untuk diraih sebagai penopang agar tidak tenggelam. Ya, aku merasakan survive beberapa tahun lebih awal dari orang-orang disekitarku. Tahun ini aku tidak lagi menerima uang kiriman dari orangtuaku.

Aku tidak mau lagi merepotkan orangtuaku. Normalnya orang akan mencari pekerjaan agar bisa mendapatkan uang. Tapi aku malah mencari peluang peluang yang mungkin bisa menjadi sumber penghasilanku. Memang banyak sekali ide yang terlintas di kepalaku sejak awal tinggal di Malang. Tapi semua sirna karena dua tahunku habis untuk kesibukan dunia kampus dan mengabdi pada ambisi yang dipengaruhi atmosfir lingkunganku yang memang berlomba-lomba untuk menjadi hebat. Orang singapura menyebut atmosfir ini dengan sebutan kiasu, perasaan takut tertinggal yang membuat diri untuk tidak mau kalah.

Setelah beberapa targetku di kampus berhasil tercapai, aku memutuskan untuk berhenti mengejar pencapaian-pencapaian di dunia kampus. Aku harus mulai memikirkan sebentar lagi kita akan dilepas ke dunia survive yang jauh lebih keras. Dan di tahun inilah aku memulai semuanya.





Aku mulai membangun bisnis kecil-kecilan bermodalkan gaji asprak yang sangat tidak seberapa untuk effort dan waktu yang cukup besar. Bagaikan memproduksi kompos tapi bahan bakunya ikan salmon segar. Rugi. Singkat cerita aku mulai membesarkan bisnisku dan mendapatkan income yang cukup untuk biaya hidup. Saat itu juga aku bilang ke ibu ku untuk berhenti mengirimkan uang, karena aku sudah bisa mencarinya sendiri hehe. Aku juga mulai merekrut orang untuk bekerjasama dan mengembangkan bisnisku. Ironisnya semakin berkembang dan semakin banyak penghasilan, semakin berkembang juga pengeluaranku. Aku sangat menyesal, mengapa hal bodoh ini bisa terjadi. Seharusnya aku tidak mengambil uang untuk diriku terlalu banyak. Seharusnya biarkan profitnya diputar terus dan membesarkan bisnisku. Padahal aku kira dalam beberapa bulan bisa melampaui gaji gaji dosen. Tapi sampai saat ini bisnisku stuck dan bahkan masih dibawah UMR kota Malang.

Memang dalam perjuangan tidak ada yang instan. Selalu ada pembelajaran.

Berbulan-bulan pikiranku hanya tertuju pada bisnis bisnis bisnis. Aku cukup menyadarinya, perlahan aku mulai berubah. Aku mulai sedikit mengabaikan kuliahku. Bahkan aku menganggapnya tidak begitu penting. Hal itu berimbas pada banyak kuis yang kulewatkan, banyak tugas yang ku abaikan, dan bahkan ada beberapa matakuliah yang auto E karena absensi tidak terpenuhi. Satu hal yang tersisa yang tidak kuabaikan adalah, aku harus lulus. Tidak peduli seberapa jelek hasilnya, aku harus lulus.

Keraguan pun muncul. Sudah betulkah langkah yang kuambil. Banyak yang masih kiasu dan mengejar prestasi ini, juara itu, lomba ini, menang itu. Banyak yang masih sibuk mengukir pengalamannya dengan menjadi ketua ini, presiden itu, direktur ini, asisten praktikum itu. Banyak juga yang masih mengais-ngais dan mencari kesempatan ke negara ini negara itu, baik lomba maupun pertukaran pelajar. Tapi aku sudah pergi meninggalkan atmosfir seperti itu. Aku tidak mau diujung gerbang kelulusan aku hanya memiliki pencapaian-pencapaian diatas kertas berbentuk ijazah dan sertifikat yang katanya memudahkan mencari perkerjaan. Ya, pada dasarnya aku tidak mau mencari pekerjaan. Jadi sebelum diujung gerbang itu, aku harus memiliki penghasilan yang jauh lebih besar dibandingkan penghasilan yang didapatkan seorang fresh graduated.

Hmm, wait . .

Aku tidak tau bagaimana cara menutup tulisan ini, tapi setelah melihat ulang judulnya, isinya cukup melenceng

Intinya survive itu tidak segampang yang dibayangkan. Bayangkan saja, rekening kita tidak ada yang mengisi jika kita tidak bertindak. Tapi semua mempunyai jalannya masing-masing. Dan inilah jalan terjal yang aku ambil. Jalan tanpa kejelasan, diterjang angin ketidakpastian, diterpa hujan kesedian, dihantam badai kegagalan, dan berharap ada pelangi kesuksesan diujung jalan itu. Tentu saja harapan itu harus dibungkus dengan keyakian. Ya aku yakin.



Tetaplah lapar agar terus berjuang, tetaplah bodoh agar terus belajar.

No comments:

Post a Comment