Aku sedang berada di lintasan. Lintasan ini umumnya terdiri dari 8 pos. Tapi kita bisa menambah jumlah pos nya sesuai keinginan. Semakin banyak menambah pos maka semakin lama mencapai garis finish. Oh iya garis finish di lintasan ini memiliki nama khusus yaitu gerbang kelulusan.
Sekarang aku berada di pos ke 8. Sebentar lagi aku akan tiba di pintu gerbang kelulusan. Gerbangnya pun sudah mulai terlihat. Tapi aku tidak bisa melihat lebih jauh ada apa setelah gerbang itu.
Oke hentikan imajinasinya. Aku di atas kursi, bukan di lintasan.
Mungkin bagi orang lain, sampai di gerbang itu adalah sebuah pencapaian yang menggembirakan. Tapi bagiku, gerbang itu sungguh mengerikan. Aku belum siap mengganti status "Mahasiswa" ku menjadi "Pengangguran". Tapi di sisi lain, aku juga tidak berencana untuk menambah pos. Cukup 4 tahun saja, cukup 8 semester.
Aku memiliki idealisme untuk tidak bekerja. Bekerja bagiku adalah sebuah ketertindasan. Entah apakah aku bisa hidup dengan idealisme ini. Ataukah suatu saat aku harus sedikit menyingkirkan idealismeku. Aku tidak tahu.
Di awal semester 8, prioritas utama ku adalah lulus tepat waktu. Hari berganti hari. Senin ke senin lagi. Hingga sampai saat ini, minggu ke 6, bahkan belum satu huruf pun kutulis dalam skripsi ku. Karena bagiku menyelesaikan skripsi tidaklah menyelesaikan masalah.
Di kepalaku seperti ada suara timer bom waktu yang terus menghitung mundur. Tidak ada yang bisa menjinakkan bom ini. Bom ini akan otomatis meledak saat aku melewati gerbang kelulusan.
Ketika bom itu meledak. Aku harus meninggalkan Kota Malang. Telah habis waktuku untuk berjuang. Aku harus pulang.
Lalu apa yang terjadi selanjutnya lebih mengerikan. Entah ini hanya bayangan ketakutan atau akan menjadi kenyataan. Aku pasti akan terpaksa menyingkirkan idealisme ku kemudian hidup dengan ketertindasan.
Kalau boleh jujur, aku masih sangat ingin berjuang di tanah perantauan. Pulang membuatku berhenti berkembang. Bukan berarti aku tidak ingin tinggal bersama orang tua. Aku ingin, sangat ingin, tapi bukan sekarang. Aku masih ingin berjuang untuk mengangkat derajat mereka. Semoga saja masih sempat sebelum Izroil datang.
Aku ingin mewujudkan impian terbesar ibuku, yaitu pergi haji. Aku ingin memiliki kemampuan untuk memberangkatkan ibuku, ayahku, dan aku sendiri untuk pergi haji. Haji plus. Karena umur orangtuaku yang sudah memasuki umur bonus. Untuk menunggu antrian haji selama 20 tahun itu sungguh meragukan. Jadi aku harus berjuang untuk haji plus. Bukankah itu masuk akal?
Haji plus membutuhkan biaya yang tidak sedikit. Tidak mungkin aku bisa memberangkat 3 orang dengan cara menabung sedikit demi sedikit dari sisa gaji UMR yang telah terkurangi biaya hidupku dan mungkin biaya hidup mereka. Hitung-hitungan matematika nya ga ketemu. Apakah aku terdengar kurang berserah diri? Tapi bukankah kita juga butuh berusaha keras? Apakah kau menyarankan aku untuk hitung-hitungan dengan rumus langit?
Oke. Kuakui aku kurang bisa hidup dengan mengikut arus. Aku harus memiliki tujuan sebagai bahan bakarku untuk menjalani kehidupan. Setiap visi memiliki misi. Setiap tujuan memiliki rencana. Terlepas dari apakah rencana akan berjalan mulus, ataukah alam punya rencana yang lebih baik.
Dan rencana ku adalah tetap tinggal di tanah perantauan untuk melanjutkan berjuang.
Sayangnya dalam rencana itu membutuhkan sumber daya yang besar. Karena setelah melewati gerbang, dan keluar dari lintasan, akan ada banyak preman yang memalak. Bahkan perutku akan menjadi preman yang memalak 1-3 kali sehari, ancamannya tidak main-main, yaitu sakit bahkan kematian. Dan masih banyak preman lainnya yang harus kuladeni.
Aku mulai melihat segerombolan preman menunggu di depan gerbang kelulusan. Aku melambatkan langkahku. Aku tidak bisa mundur. Aku juga tidak boleh diam. Aku bingung.
Apakah kau melihat kebingunganku?
Mungkin kau adalah aku dari masa depan. Atau kalau dari sudut pandangmu, aku adalah masalalu mu.
Bagaimana menurutmu? Jika kau bisa kembali ke masa ini, apa yang seharusnya aku lakukan? Bisakah kau memberitahuku?
Aku bingung
No comments:
Post a Comment